Terumbu Karang Masa Depan Kita

Indeks Lingkungan slider Top Stories
Ilustrasi : terumbu karang. foto  : fakhrizalsetiawan.wordpress.com
Saat berkunjung ke Kepulauan Seribu beberapa waktu yang lalu, saya jadi semakin cinta laut. Sebuah perasaan yang tak pernah timbul sebelumnya. Pasalnya, saya kurang begitu suka dengan hawa panas yang tercipta. Namun perasaan itu hilang dengan sendirinya, berganti rasa takjub yang tiada tara.
Sebelumnya saya lebih memilih berada di ketinggian, tepatnya di pegunungan yang penuh rimbunan pepohonan. Selain itu, aroma serasah dengan hawanya yang sejuk, turut membuat saya terpesona. Ini yang jadi alasan mengapa saya begitu cinta pada hutan dan gunung. Apalagi kegiatan alam bebas (baca: mendaki gunung) telah saya geluti sejak lama.

Namun, semua mulai berubah saat saya mengikuti Fieldltrip yang diadakan oleh Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS). Saat itu kami diajak snorkeling di kawasan Pulau Pramuka, tepatnya di Baliho TNKpS. Baliho ini merupakan pondok dan jaring apung besar, tempat mendapatkan informasi dan pemanduan wisata, sekaligus berfungsi tempat melihat pemberian makan ikan besar. Selain itu, Baliho juga berfungsi sebagai pusat pendidikan snorkeling, diving dan memancing di rumpun alami, termasuk melihat percontohan dan riset transplantasi karang sistem ‘Rock Pile’.

Di tempat ini kita bisa menemukan aneka jenis karang hanya dengan kedalaman 2 – 5 m. Kebanyakan karang-karang disini merupakan ekosistem alami yang sudah ada sejak dulu. Sebelum kawasan ini dijadikan kawasan konservasi dan dinamakan Baliho oleh TNKpS, dulunya menjadi lokasi pengambilan karang alam oleh oknum tak bertanggungjawab, demi nafsu belaka.

Namun semenjak adanya larangan penjualan karang alam, pengrusakan terumbu karang mulai berkurang. Kegiatan ini makin diperketat dengan adanya razia yang dilakukan oleh jagawana penjaga terumbu karang. Aktivitas mereka (baca; perusak) semakin sempit. Mau gak mau, mereka harus ikut melakukan transplantasi karang secara buatan. Pasalnya, di pasar nasional maupun internasional penjualan karang hanya dimungkinkan jika berasal dari transplantasi karang buatan, yang gampang dikenali dari dudukan karangnya (baca: terbuat dari semen), berbeda dengan karang asli.

Puas snorkeling di Baliho, kegiatan di lanjutan di APL (Areal Perlindungan Laut) tak jauh dari Baliho berada. Jika di baliho, terumbu karangnya tak begitu banyak, berbeda dengan APL. Selain lebih dalam, terumbu karang aneka rupa dan warna menghiasi wilayah APL, lebih kurang 5 km². Di tempat ini, karya sang Maestro alam sungguh nyata adanya. Dengan snorkeling, kita bisa menikmati keindahan taman koleksi yang mencakup ± 114 jenis karang hias yang terdapat di kepulauan seribu.

Asal Muasal

Ternyata ekosistem ini di bangun oleh biota-biota laut penghasil kapur, khususnya jenis karang batu dan algae penghasil kapur (CaCO3), merupakan ekosistem yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Ekosistem terumbu karang terdapat di lingkungan perairan dangkal. Untuk mencapai pertumbuhan maksimumnya, terumbu karang membutuhkan perairan jernih dengan suhu hangat, gerakan gelombang besar, serta sirkulasi yang lancar dan terhindar dari proses sedimentasi.

Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling produktif dan paling tinggi keanekaragaman hayatinya. Produktivitas primernya mencapai sekitar 10.000 gram carbon/m²/tahun. Angka ini jauh melampaui produktivitas perairan laut lepas pantai yang hanya 50 – 100 gram carbon/m²/ tahun.

Ekosistem ini juga merupakan tempat ideal bagi pemijahan, pengasuhan dan mencari makan dari kebanyakan ikan. Oleh karena itu, secara otomatis produk ikan di daerah terumbu karang sangat banyak. Terumbu karang juga merupakan habitat bagi banyak spesies laut. Selain itu, terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari erosi.

Dari sisi sosial, terumbu karang adalah sumber perikanan yang produktif, sehingga dapat meningkatkan pendapatan nelayan, penduduk pesisir dan devisa negara yang berasal dari perikanan dan pariwisata.

Jenis-jenis karang

Berdasarkan data, seluruh pulau di gugusan kepulauan seribu di kelilingi terumbu karang yang dibedakan menjadi dua kelompok, yakni, karang keras/ batu dan karang lunak.

Koloni karang tersebut di bangun oleh beribu-ribu hewan kecil yang mempunyai bentuk dan ukuran sangat bervariasi. Di Kepulauan Seribu diperkirakan terdapat 257 jenis binatang karang yang hidup pada kedalaman kurang dari 30 m.

Adapun koloni karang yang cukup dominan di kawasan ini adalah: Bentuk lembar daun (foliosa). Karang ini berbentuk lembaran-lembaran pipih seperti daun. Bentuk strukturnya rapuh dan mudah patah. Kedua, bentuk kerasa (massive). Umumnya karang ini berbentuk bola atau setengah bola dengan struktur cukup kokoh. 


Terumbu Karang, rumah bagi ikan kecil. Foto : Wikipedia.
Ketiga, bentuk jamur (mushroom coral). Karang ini berbentuk menyerupai jamur. Keempat, bentuk cabang (branching coral). Karang ini bercabang dan tumbuh melebar dengan permukaan rata berbentuk bulat dengan struktur sangat rapuh dan mudah patah. Kelima, bentuk merayap, mengikuti substan (encrusting). Karang ini umumnya tumbuh merayap diatas karang yang telah mati.

Masa Depan Terumbu Karang

Terumbu karang yang tersebar dalam aneka rupa dan warna, ternyata memiliki manfaat yang sangat dibutuhkan manusia, diantaranya untuk kegiatan pariwisata, perikanan dan perlindungan pantai.

Saat ini, ekosistem terumbu karang secara terus menerus mendapat tekanan akibat berbagai aktivitas manusia, baik secara langsung maupun tak langsung. Beberapa aktivitas manusia yang secara langsung dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang adalah menangkap ikan dengan menggunakan bom dan racun sianida (potas), pembuangan jangkar, berjalan diatas terumbu karang, penggunaan alat tangkap muroami, penambangan batu karang, penambangan pasir dan sebagainya.

Adapun aktivitas manusia yang secara tidak langsung bisa menyebabkan kerusakan terumbu karang adalah sedimentasi yang disebabkan aliran lumpur dari daratan akibat penggundulan hutan dan kegitan pertanian, penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan, sampah plastik dan lain-lain.

Sementara itu, ancaman terhadap ekosistem terumbu karang juga dapat disebabkan oleh adanya faktor alam. Baik berupa angin topan, badai Tsunami, gempa bumi, pemangsaan oleh CoTs (crown-of-thorns starfish) dan pemanasan global yang menyebabkan pemutihan karang.

Berdasarkan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI), terumbu karang di Indonesia hanya tinggal 7% yang berada dalam kondisi sangat baik, 24% dalam kondisi baik, 29% dalam kondisi sedang dan 40% berada dalam kondisi mengkhawatirkan (Suharsono, 1998). Diperkirakan Terumbu karang akan berkurang sebanyak 70% dalam waktu 40 tahun, jikatidak dikelola dengan baik.

Padahal, perkiraan penghitungan nilai produksi perikanan dari terumbu karang sangat tergantung pada kondisi terumbu karang dan kualitas pemanfaatan serta pengelolaan oleh masyarakat sekitar. Sebagai analogi dapat dilihat dari daerah perlindungan laut (marine sanctuary) yang dapat menghasilkan US$ 24.000/km²/tahun, jika penangkapan ikan dilakukan secara berkelanjutan.

Terumbu karang dengan kondisi yang sangat baik tanpa daerah perlindungan laut diatasnya dapat menghasilkan US$ 12.000/ km²/tahun, jika penangkapan dilakukan secara berkelanjutan. Terumbu karang dengan bahan peledak atau pengambilan destruktif lainnya (baca: penambangan karang, pengrusakan dengan jangkar, dsb) menghasilkan jauh lebih sedikit keuntungan ekonomi. Kawasan terumbu karang yang sudah rusak, hanya mampu menghasilkan US$ 6.000/km²/tahun hingga 2.000/km²/tahun. Apabila terumbu karang sudah mengalami tangkap lebih (overfishing), maka keuntungan ekonomi akan menurun sangat tajam.

Terumbu karang memiliki nilai lain, selain nilai ekonomi. Di Philiphina misalnya, diperkirakan 1 Km² terumbu karang sehat dapat menghasilkan keuntungan tahunan antara US$ 15.000 – US$ 45.000 dari perikanan secara berkelanjutan. US$ 2.000 – US$ 20.000 dari keuntungan pariwisata dan keuntungan ekonomi sebesar US$ 5.000 – US$ 25.000 dari perlindungan pesisir pantai dengan total keuntungan US$ 32.000 – US$ 113.000/Km²/tahun (White and Cruz Trinidad, 1998).

Lalu, mengapa kita begitu rajin merusak ciptaan Tuhan ini? Bukankah semestinya, kondisi lestari, peluang ekonomi bisa kita hasilkan lebih tinggi tanpa merusak. Atau, tidak mampu kah kita berpikir lebih jernih, demi sebuah hasil prematur. Karena bicara pelestarian, berbicara mengenai warisan anak cucu kita kelak. (Jeksen Simanjuntak)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *