Kehidupan Awal
Sultan Hasanuddin lahir pada 12 Januari 1631 di Makassar, sebagai putra Sultan Malikussaid, Sultan Gowa ke-15, dan I Sabbe Lokmo Daeng Takuntu. Sejak usia dini, Hasanuddin menunjukkan bakat kepemimpinan dan kecerdasan, serta keahlian dalam berdagang yang membentuk jaringan luas hingga ke Makassar dan dengan pedagang asing.
Pendidikan
Pendidikan awalnya di Masjid Bontoala memperkuat dasar keagamaan dan kepemimpinannya, sering mengikuti ayahnya dalam pertemuan penting untuk memahami diplomasi dan strategi perang.
Saat memasuki usia 21 tahun, Hasanuddin diamanatkan jabatan urusan pertahanan Gowa. Ada dua versi sejarah yang menjelaskan kapan dia diangkat menjadi raja, yaitu saat berusia 24 tahun atau pada 1655 atau saat dia berusia 22 tahun atau pada 1653. Terlepas dari perbedaan tahun, Sultan Malikussaid telah berwasiat supaya kerajaannya diteruskan oleh Hasanuddin.
Selain dari ayahnya, dia memperoleh bimbingan mengenai pemerintahan melalui Mangkubumi Kesultanan Gowa, Karaeng Pattingaloang. Sultan Hasanuddin merupakan guru dari Arung Palakka, salah satu Sultan Bone yang kelak akan berkongsi dengan Belanda untuk menjatuhkan Kesultanan Gowa.
Naik Takhta
Pada usia muda, Hasanuddin diamanahkan urusan pertahanan Kesultanan Gowa dan pada usia 21 atau 22 tahun, tergantung sumber, ia naik takhta menggantikan ayahnya. Dibimbing oleh Karaeng Pattingaloang, Mangkubumi Kesultanan Gowa, ia juga menjadi mentor bagi Arung Palakka dari Kesultanan Bone.
Perjuangan Melawan VOC
Kesultanan Gowa di bawah kepemimpinan Hasanuddin pada abad ke-17 menghadapi tantangan besar dari VOC Belanda, yang berusaha memonopoli perdagangan rempah di Maluku. Sultan Hasanuddin menentang keras kebijakan VOC yang menekan harga rempah dan memerintahkan penebangan pohon rempah, sebuah tindakan yang ia anggap bertentangan dengan kehendak ilahi. Dalam pertahanannya, ia berujar untuk berniaga dengan adil dan tidak dengan penindasan.
Konflik memuncak pada tahun 1667 ketika Belanda menyerang Makassar. Setelah pertempuran yang sengit, Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian Bungaya yang sangat merugikan Gowa. Meskipun perjanjian itu ditandatangani, pertempuran berlanjut hingga tahun 1669, ketika Belanda akhirnya menguasai Benteng Sombaopu, benteng terkuat di Gowa.
Akhir Hayat
Sultan Hasanuddin meninggal pada 12 Juni 1670 karena penyakit ari-ari, hanya setahun setelah kejatuhan Gowa. Ia dimakamkan di Katangka, Kabupaten Gowa, dan kemudian diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 6 November 1973 dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973.
Namanya Diabadikan di Berbagai Tempat
Nama Sultan Hasanuddin kini diabadikan di berbagai tempat penting di Indonesia seperti Universitas Hasanuddin, Kodam XIV/Hasanuddin, Bandara Internasional Sultan Hasanuddin di Makassar, KRI Sultan Hasanuddin, serta di nama jalan di berbagai kota di Indonesia.
Sultan Hasanuddin dikenang sebagai pemimpin yang tegas dan berani, dengan julukan “Ayam Jantan dari Timur” yang diberikan oleh Belanda sebagai pengakuan terhadap keberaniannya. Warisan kepemimpinannya terus menginspirasi banyak generasi di Indonesia, mengingatkan pada keberanian dan keadilan dalam menghadapi penjajah.***