Bagi sebagian masyarakat, datang dan pergi ke Tanah Bone Makassar, barangkali sesuatu yang biasa. Tapi tidak bagi kami keluarga besar Laena.
Perjalanan kami ke Tanah Bone ini adalah perjalanan bersejarah karena mengenang perjalanan orang tua kami yang mengungsi akibat peristiwa DI/TII di Makassar 70 tahun yang lalu.
Pada saat itu, dengan menggunakan perahu layar berpenumpang 35 orang, akhirnya orang tua kami terdampar di suatu desa yang sangat terpencil bernama Pulau Kijang, Kecamatan Reteh, Kabupaten Indragirihilir, Provinsi Riau.
Menelusuri perjalanan orang tua kami pada waktu itu, rasanya mustahil jika ingin mengikuti secara utuh. Bayangkan Ayah berangkat dari Pelabuhan Bajoe di Tanah Bone bersama penumpang yang lain. Dan harus berada di dalam perahu layar yang bobotnya kecil selama tiga bulan perjalanan. Karena itu, ketika kami memutuskan untuk melakukan napak tilas, maka cukup bagi kami sekeluarga besar memulai perjalanan dari Jakarta, kemudian transit di Surabaya dan menuju Makassar.
Pada tanggal 26 November 2020, bersama 35 orang anggota keluarga besar dengan menggunakan Kapal PELNI KM Nggapulu, kami bertolak dari Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta menuju Surabaya. Dan, yang menarik, Direktur Utama PT PELNI Bapak Insan Purwarisya L. Tobing berkenan melepas keberangkatan kami sekeluarga.
Sejujurnya, perjalanan menggunakan kapal laut sempat membuat kami khawatir karena bagi keluarga kami, menempuh perjalanan selama empat hari tiga malam sudah pasti sangat membosankan. Namun kami keliru. Ternyata di dalam KM Nggapulu terasa sangat istimewa ketika nakhoda kapal Kapten Labani mengajak kami tour melihat operasional kapal mulai dari cara kerja di anjungan kapal, ruang kontrol, ruang komunikasi bahkan ruang mesin dan dapur serta fasilitas lainnya. Dan yang paling istimewa, kami dilibatkan dalam simulasi peragaan penyelamatan penumpang dalam keadaan darurat.
Demikian juga perjalanan dari Surabaya menuju Makassar, nakhoda kapal Kapten Nursyamsi banyak bercerita tentang pengalaman beliau selama menjadi nakhoda, dan cerita itu melengkapi perjalanan panjang kami. Tanpa terasa akhirnya kami tiba Makassar.
Senja mulai turun, dan lembayung sutra di ufuk timur mulai bercahaya ketika kapal kami bersandar di Pelabuhan Anging Mamiri Makassar. Dengan diiringi Lagu “Sulawesi Parasananta”, Alhamdulillah tanggal 29 November 2020 untuk pertama kalinya kami sekeluarga menginjakkan kaki di Tanah Ugi, Makassar.
Selama dua hari di Kota Makassar, tentu tidak kami sia-sia kan. Kami gunakan waktu untuk bertemu dengan keluarga, kerabat dan sahabat yang ternyata juga ingin ikut menyertai perjalanan dari Makassar menuju Tanah Bone.
Pada saat yang sama Prof Dr Ir Fadel Muhammad sedang melakukankan kunjungan kerja ke Makassar. Sebagai Wakil Ketua MPR RI berkenan melepas rombongan dari Hotel Rinra dan memberikan wejangan. Fadel Muhammad berpendapat bahwa kegiatan ini memang sederhana tapi penting sebagai wujud nyata dalam rangka menjaga NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tidak disangka anggota rombongan yang menyertai kami menuju Tanah Bone bertambah. Tidak kurang dari 50 orang anggota keluarga yang menetap di Jakarta, Jambi bahkan dari Kota Makassar ikut berpartisipasi. Dengan diiringi Lagu “Indologo” yang pernah populer pada tahun 70-an, kami berangkat menuju Tanah Bone.
Satu hal yang menarik, ketika kami akan berangkat dari Jakarta, Ayahanda kami memberikan daftar nama keluarga yang harus dikunjungi di Tanah Bone. Tapi ternyata tidak mungkin bisa kami wujudkan karena tidak kurang dari 30 keluarga. Karena itu kami putuskan mengundang keluarga untuk mengikuti acara silaturrahim yang kami selenggarakan di Hotel Novena Kota Bone, hotel dimana kami tinggal selama di Tanah Bone.
Suatu yang sangat istimewa ketika Bupati Bone Bapak Dr. H. Andi Fashar Padjalangi beserta jajaran Pemda Bone mengundang dan menjamu kami di Rumah Jabatan sekaligus mengajak untuk melihat dan menyaksikan kebesaran Bone di Museum Arung Palakka.
Meskipun kami sempat berkunjung ke beberapa rumah kerabat yang ada di Cellu, Berebbo serta Bone dan sekitarnya, tapi puncak acara adalah ketika kami mengundang keluarga besar untuk bersilaturahim. Dengan tetap menerapkan protokol kesehatan Covid 19, silaturahim diisi juga dengan kegiatan Sosialisasi Empat Pilar MPR untuk saling memahami betapa pentingnya memahami nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam kegiatan yang dihadiri oleh Bupati Kabupaten Bone Bapak Dr. H. Andi Fashar Padjalangi Msi dan Wakil Bupati Bapak Drs. H. Ambodalle Msi, terlihat betapa antusiasnya keluarga menyambut kami. Pertemuan yang penuh haru setelah terpisah oleh sejarah selama 70 tahun. Karena itu, tidak salah jika Bupati Bone mengajak seluruh hadirin untuk terus menjaga persatuan.
Dan yang sangat mengharukan, ketika pada acara itu, Ayahanda Haji Lamek Thaher Daeng Manambung sempat melakukan video call dan menyapa semua keluarga dan kerabat yang hadir.
Saya patut berbangga karena pada acara silaturrahmi itu, Bupati Bone juga secara spontan memberi gelar kepada istri saya Hj. Lily Idris Laena dengan nama Paddaengeng Daeng Tamayang, meskipun istri saya dari campuran suku Melayu Deli, Sunda,dan Minang. Inilah Nusantara-Inilah Indonesia.
Waktu terus berjalan, tapi sejarah tetaplah sejarah yang tidak bisa diulang. Namun tetap harus dikenang dan jangan dilupakan.
Untuk itu, kepada kakak dan adik-adikku : Keluarga H. Arief Laena SE, Keluarga Drs H. Jamil Laena, Keluarga H. Tafsir Laena SE, Keluarga H. Azhar Laena SE, Keluarga Hasyim Laena SH, serta anak-anakku Tania Laena Putri, BSc. MBA, Astrid Laena Putri SH, MH, Haikal Laena Putra dan Aurelie Laena Putri, serta seluruh kerabat dan sahabat, saya ingin mengajak untuk selalu ingat tanah leluhur. Tanah dimana sejarah kita dimulai.
Selamat tinggal Tanah Bone, kami akan selalu merindukan keramahanmu.
Salamkki to pada salama.
Uddani Bali Uddani………
*Penulis adalah Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI dan Ketua Badan Penganggaran MPR RI.