MAKASSAR, MK- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar hari ini menggelar diskusi publik ketenagakerjaan dalam rangka memperingati hari buruh atau May Day 2017.
Diskusi tersebut sengaja dilaksanakan lebih awal untuk refleksi pekerja pers. Ketua AJI Makassar Qodriansyah Agam Sofyan mengatakan, diskusi ini dilaksanakan dalam rangka memikirkan nasib bersama. Pekerja pers khususnya jurnalis masih menganggap upah sebagai topik yang tabu. Padahal dalam kenyataanya, masih banyak jurnalis yang dibayar oleh perusahaannya jauh dari batas wajar.
“Bahkan masih banyak yang dibawah upah minumum kota dan provinsi,” katanya saat membuka diskusi yang digelar di Rumah Independen, Jalan Toddopuli 7 Makassar.
Soal kontrak kerja dan ketidak jelasakan status jurnalis baik yang sifatnya lokal maupun yang bekerja di media nasional juga menjadi masalah lain. Sering kali jurnalis tidak mendapatkan pesangon saat media bersangkutan memutuskan hubungan kerja. Kalau sudah demikian tidak ada yang bisa diperbuat oleh jurnalis.
Kenyataan ini memang miris, dimana jurnalis selama ini dikenal sebagai profesi yang punya peran penting. Bahkan disaat perayaan hari buruh, media selalu ada dibarisan depan untuk menyuarakan aspirasi buruh. Tapi disisi lain pekerja pers juga masih belum mampu bersuara akan gajinya.
Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Makassar Andi Irwan Bangsawan yang didapuk sebagai pembicara dalam diskusi ini tidak menutup mata atas kenyataan itu. Namun pihaknya juga tak bisa berbuat banyak. Selama ini tidak ada jurnalis di Makassar yang berani melaporkan kondisinya ke pemerintah.
“Padahal andai ada kasus yang mencuat, kita bisa ambil tindakan. Melapor ke Disnaker juga akan dijaga kerahasiaannya, tapi itu tidak pernah terjadi,” katanya.
Data AJI Makassar menunjukkan beberapa perusahaan media di Makassar selalu bermasalah dengan penggajiannya. Bahkan beberapa sampai tutup dengan menyisahkan ketidakjelasan pada pembayaran pesangon. Ada juga perusahan media yang memutuskan kontrak dalam skala besar tanpa alasan yang jelas.
Masalah kronis ini memang diperparah dengan tidak kuatnya regulasi yang mengatur masalah pekerja pers. Disatu sisi, jurnalis adalah profesi yang dilindungi undang-undang 40 tahun 1999. Disisi lain, ia tetap pekerja namun tak terakomodir dengan baik dalam undang-undang ketenagakerjaan.
Hubungan yang tak mengenakan antara pekerja pers dengan perusahaan juga kian meminggirkan masalah upah layak. Belum adanya serikat pekerja di perusahaan media di Makassar adalah masalah lain. Pun kalau ada, tidak mampu bersuara maksimal karena banyak ketakutan didiri seorang jurnalis untuk menyuarakan hak-haknya.
Anggota DPRD Makassar, Syahruddin Alrif menyambung usulan Sekretaris Umum AJI Makassar Ancha Hardiansya untuk membuka jalur komunikasi dalam rangka menciptakan peraturan daerah (perda) tentang perlindungan jurnalis. Dimana termaktub di dalamnya soal upah yang lebih layak.
Bagi Syahruddin, kenyataan bahwa pekerja pers masih dibayar murah adalah kenyataan miris. Ia selama ini tidak tahu jikalau masih ada jurnalis yang dibayar perberita dengan harga yang kurang memuaskan. Olehnya itu, sebagai legislator yang menangani masalah ketenagakerjaan, ia mengajak untuk membuat regulasi.
“Sudah sering disuarakan masalah ini, setiap tahun juga begini, hanya diskusi dan wacana, saatnya mulai mendorong peraturan daerah, kalau belum bisa, minimal memaksimalkan peraturan gubernur soal ketenagakerjaan,” katanya.
Syahruddin bahkan bersedia membuka jalur komunikasi lebih intensif ke DPRD jika AJI Makassar berkomitmen mengatur regulasi tersebut. Namun Ketua AJI Makassar mengatakan akan mempersiapkan dulu segala materi sebelum usulan ini dilimpahkan ke jalur legislator. (aji)