![]() |
Ilustrasi |
MAKASSAR, CELEBES.CO- WACANA dikembalikanya sistem pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD dinilai sebagai langkah mundur demokrasi.
Pola ini juga dianggap akan membayakan karena nantinya mekanisme pemerintahan daerah karena prola pengawasan akan terjadi bias kepentingan.
Aspirasi rakyat akan menjadi alat permainan kepentingan segelintir orang yang duduk di DPRD.
Ke depan, kekurangan dan berbagai dampak pilkada langsung harus diperbaiki bersama. Bukan justru mengembalikannya ke pola kurang demokratis yang sudah dtinggalkan.
Pengamat politik yang juga Ketua Populi Center, Nico Harjanto mengingatkan potensi bahaya yang ditimbulkan jika keputusan memilih kepala daerah berada di tangan DPRD. Salah satunya fungsi pengawasan yang dimiliki legislatif menjadi bias kepentingan.
“Legislatif bisa saja menjungkalkan kepala daerah karena dianggap tidak sejalan atau tidak mengikuti keinginan mereka, dengan kata lain fungsi pengawasan yang dimiliki legislatif menjadi bias kepentingan,” kata Nico seperti diberitakan antaranews.com.
Ketua Fraksi Partai Hanura, DPR RI Sarifuddin Sudding mengatakan, pemilihan kepala daerah seperti pemilihan gubernur, walikota dan bupati secara tidak langsung atau dipilih oleh DPRD merupakan kemunduran demokrasi.
Menurutnya, alasan pilkada langsung berdampak pada konflik dan tinggi cost politik mestinya menjadi semangat untuk membenahi dan memperbaiki kekurangan tersebut. Tidak tertutup kemungkinan, hal demikian justru akan kembali terjadi pada pola pilkada yang ditentukan DPRD.
“Walaupun alasannya terlalu banyak cost politik, terjadi konflik, money politik. Saya kira tidak menutup kemungkinan ketika pilkada ini kembali ke DPRD, juga terjadi hal yang sama,” kata anggota Komisi III DPR RI ini.
Sementara Wakil Bendahara Umum Partai Golkar, Bambang Soesatyo, yang partainya mendukung pilkada dilakukan oleh DPRD menyatakan pilkada langsung banyak mudaratnya. Menurutnya, partainya sudah melakukan kajian.
“Kesimpulan sementara, lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya bagi rakyat dan kehidupan yang tenteram dalam berbangsa dan bernegara,” kata Bambang.
Disebutkannya, sudah ribuan pilkada langsung memakan korban anak bangsa. Pertikaian antar pendukung, ras dan suku selalu mewarnai setiap pilkada. Lalu berlanjut di tahapan gugat menggugat yang juga kerap diwarnai kekerasan.
Belum lagi biaya yang luar biasa besarnya yang harus dikeluarkan para kandidat yang ujung-ujung mendorong siapapun pemenangnya melakukan praktik korupsi agar modal kampanye kembali.*