JAKARTA, MK-Pemerintah harusnya melindungi petani bukan dijadikan korban keserakahan korporasi. Kecuali pemerintah sudah menjadi bagian darinya dengan menjadi promotor produknya.
Hal tersebutkan disampaikan Said Abdullah, Manager Advokasi dan Kampanye Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) menanggapi pernyataan Menteri Pertanian (Mentan) pada acara seminar tentang ”Global Overview of Biotec/GM Crops 2012: Status Terkini, Dampak dan Prospek” Rabu (14/3/2013) lalu. Saat itu Mentan mengatakan, pengembangan tanaman bioteknologi yang salah satunya adalah produk rekayasa genetik (GMO) atau transgenik menjadi keharusan bagi Indonesia karena kebutuhan pangan terus meningkat.
KRKP mencatat hingga tahun lalu saja tercatat sekurangnya ada 239 juta jiwa penduduk Indonesia. Atau rata-rata penduduk tumbuh 3 juta orang setiap tahunnya. Dengan pertambahan itu maka kebutuhan pangan pasti akan meningkat. Hal ini dapat dilihat dari laju peningkatan konsumsi energi dan protein. Antara tahun 2002-2005, laju peningkatan konsumsi energi rata-rata 0,14 persen. Sementara protein rata-rata 0,46 persen.
Peningkatan konsumsi nyatanya tidak dibarengi dengan peningkatan produksi. Lima komoditas strategis, jagung, beras, kedelai, gula, dan daging sapi cenderung menurun. Jika pun ada laju perubahannya sangat kecil. tak mengherankan jika kemudian laju impor pangan melonjak hingga 15 juta ton padahal pada tahun 2009 hanya 7 juta ton. Sementara nilai impornya menembus angka 7 miliar USD dari 2 miliar USD pada tahun 2009.
Alumnus IPB ini menilai pernyataan Mentan tersebut seolah menisbikan faktor-faktor lainnya. Padahal jika dilihat keberhasilan budidaya bukanlah faktor tunggal. Setidaknya dipengaruhi faktor lahan, jaminan input, kepastian harga dan pasar, inovasi teknologi dan iklim. Dalam konteks Indonesia, introduksi teknologi tinggi semacam ini sudah diujicobakan dan terbukti gagal.
Said mencontohkan benih padi hibrida, catatan KRKP tahun 2009-2010 benih yang dibagikan mengalami kegagalan baik di Jawa Barat, Jawa Timur, maupun Jawa Tengah, baik karena ketidakoptimalan produksi maupun serangan hama karena kerentanan yang dimilikinya.
Pada praktek budidaya, persoalan mendasar justru terletak pada degradasi kualitas lahan pertanian. Dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan kualitas. pada tahun 2008, Klinik Tanaman IPB, Yayasan Nastari, dan KRKP melakukan perjalanan ke 24 Kabupaten di Jawa dan menemukan situasi rusaknya lahan pertanian. Unsur hara didalam tanah sudah berada pada titik kritis, kurang dari 2 persen padahal idealnya diatas 5 persen.
Dengan kondisi tanah seperti ini lanjut Ayib panggilan akrab Said Abdullah, sebagus dan semahal apapun teknologi (termasuk GMO) diyakini tak akan membawa perubahan. Jika pun produksi meningkat dapat dipastikan tidak akan berkelanjutan. Tanaman GMO diciptakan dengan kebutuhan input tinggi. Input tersebut tentu saja kimia. Dalam jangka panjang, penggunaan bahan kimia akan mematikan mikroorganisme tanah. Dan akhirnya tanah menjadi rusak.
Penggunaan GMO diyakini juga akan menghadirkan persoalan serius bagi petani. Ketergantungan adalah ancaman nyata. Produk GMO hingga saat ini merupakan hasil dari perusahaan raksasa transnasional sementara petani hanya sebagai konsumen alias pengguna akhir produk. Sifat khas produk tanaman GMO tak bisa diperbanyak, hanya satu kali tanam. Dengan demikan setiap musim petani akan membeli dan terus membeli. Pada gilirannya penggunaan produk ini menciptakan ketergantungan dan secara perlahan menyingkirkan benih-benih lokal.
Meluasnya penggunaan GMO terutama di negara berkembang hingga 52 persen atau luasnya mencapai 170 ha lebih yang melibatkan15 juta merupakan miskin dan kecil pada tahun 2012 seperti diungkapkan Ketua Dewan International Service for the Acquisition of Agri-biotech Applications (ISAAA) hendaknya dipandang sebagai ancaman serius. Semakin luas pertanaman, semakin banyak petani yang terlibat dan tergantung, dan semakin banyak pula benih-benih lokal yang tereduksi. Diakhir, keuntungan terbesar dan semakin besar dimiliki perusahaan. Yang lebih mengerikan, benih yang ada akan semakin sedikit, tentu saja miliki perusahaan.
Pada titik ini kekhawatiran akan hilangnya kedaulatan petani atas benih dan kedaulatan atas pangan suatu negara bisa menjadi kenyataan. Karena sifat dasar perusahaan mencari keuntungan maka tak akan banyak keuntungan yang dibagi dengan petani. Karena keuntungan terbesar akan selalu menjadi bagian perusahaan. “Selain itu dominasi atas teknologi dan paten hanya akan mendorong semakin besarnya jurang kemiskinan dan kuasa perusahaan atas petani bahkan negara,”ujarnya.
Ayib mengingatkan, rekayasa genetik yang dikembangkan perusahaan lebih besar menimbulkan mudharat ketimbang manfaatnya bagi petani di negeri ini. “Bisa menjadi kesalahan besar jika kita mengabaikan persoalan mendasar dan potensi lokal yang ada. Karena kenyataannya sampai hari ini lebih dari 70% pangan yang terhidang di meja makan hasil karya petani kecil bukan perusahaan,”jelasnya.
Seraya menambahkan, petani Indonesia sebenarnya kaya akan pengetahuan, melimpah sumber daya alam dan memiliki keragaman sumberdaya genetika (benih) tanaman pangan. Sayang sekali jika itu semua diabaikan, dibiarkan hilang. (Marwan Azis)