Rizal, Andi Alfian, dan Choel Mallarangeng bersaudara (kiri ke kanan). Foto : Antara/ Rosa Panggabean. |
JAKARTA, MK- Ketua KPK Abraham Samad akhirnya membuat kejutan terkait penanganan kasus Hambalang. Tak tanggung-tanggung dua Malllarangeng bersaudara (Andi dan Choel) ditetapkan sebagai tersangka.
Kamis (6/12) melalui Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengumumkan tentang penetapan tersangka dan pencekalan Menpora Andi Alfian Mallarangeng bepergian ke luar negeri termasuk adiknya Andi Zulkarnaen Mallarangeng yang lebih populer dengan sapaan Choel Mallarangeng.
KPK juga mencekal direktur PT AK berinisial MAT dan seseorang dari swasta berinisial AZM.
“Benar KPK sudah mengirim surat cekal kepada Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM No 4569/01/23/12/2012 tanggal 3 Desember. Saya sebut inisialnya AAM, AZM, dan MAT dari PT AK,” kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto di Jakarta, Kamis (6/12) seperti dilansir sejumlah media.
AAM adalah Menpora Andi Alfian Mallarangeng, AZM adalah Andi Zulkarnain Mallarangeng yang juga adik Menpora, sedangkan MAT adalah M Arief Taufiqurahman selaku Kepala Divisi Kontruksi I PT Adhi Karya.
Choel adalah bungsu dari tiga bersaudara Mallarangeng. Andi Alfian yang disapa Anto oleh keluarganya adalah yang tertua, disusul Rizal Mallarangeng atau Celi dan terakhir si bungsu Choel.
Tak sulit untuk mencari kaitan mengapa Choel turut dicegah keluar negeri atas permintaan KPK. Nama Choel Mallarangeng disebut sebagai salah satu penerima suap.
Dalam surat KPK tersebut tertulis: “Diberitahukan kepada Saudara bahwa saat ini KPK sedang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi terkait pengadaan sarana dan prasarana olahraga Hambalang TA 2010-2011 yang dilakukan oleh tersangka Andi Alfian Mallarangeng selaku Menpora/Pengguna Anggaran pada Kemenpora dan kawan-kawan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 UU 39 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Guna kepentingan penyidikan, dimohon bantuannya untuk mencegah atau melarang bepergian ke luar negeri terhadap tiga orang dengan identitas sebagai berikut, yaitu AAM, AZM dan MAT.”
Pasal 2 ayat 1 adalah mengenai memperkaya diri sendiri dan merugikan orang lain, sedangkan pasal 3 adalah tentang perbuatan menguntungkan diri sendiri dengan menyalahgunakan kewenangan dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun. “Waktu pencekalan biasanya biasanya enam bulan, alasan terkait dengan penyelidikan kasus Hambalang,” tambah Bambang.
Mantan aktivis ICW ini memastikan bahwa tidak ada dispensasi pencegahan terhadap Andi Mallarangeng, meskipun ia adalah menteri. “Pernah kita lakukan cekal kepada gubernur dan beliau pernah minta dispensasi untuk pergi, tapi kami tidak berikan. Itu merujuk kepada pengalaman KPK,” ungkap Bambang.
Soal keterlibatan Andi Zulkarnain Mallarangeng atau Choel Mallarangeng disebut pertama kali oleh Mindo Rosalina Manulang, mantan anak buah Muhammad Nazaruddin saat bersaksi di Pengadilan Tipikor. Rosa mengatakan memberikan dana Rp20 miliar untuk mengurus berbagai proyek di Kementerian Pemuda dan Olahraga kepada mantan Sekretaris Kemenpora Wafid Muharram, yaitu untuk pembangunan fasilitas pusat olahraga di Hambalang.
Menurut Rosa, dana itu tadinya akan dibagikan kepada Choel Mallarangeng untuk mengurus proyek di Hambalang. Tapi uang itu sudah dikembalikan oleh Wafid ke PT Anak Negeri, perusahaan M Nazaruddin.
Sejak melakukan penyelidikan sejak Agustus 2011 KPK baru menetapkan satu tersangka kasus Hambalang, yaitu mantan Kabiro Perencanaan Kemenpora, Deddy Kusdinar. Deddy hingga saat ini masih menjabat Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga di Kemenpora.
Deddy dikenai Pasal 2 ayat 1, pasal 3 Undang-undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah pada UU No 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat ke (1) ke-1 KUHP, yaitu pasal penyalahgunaan kewenangan dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun.
Ketua BPK Hadi Purnomo pada Kamis (31/10) mengungkapkan nilai kerugian negara karena proyek Hambalang adalah Rp243,6 miliar. Rinciannya, selisih pembayaran uang muka senilai Rp116,9 miliar ditambah kelebihan pembayaran atau pemahalan harga pelaksanaan konstruksi hingga Rp126,7 miliar, yang terdiri atas mekanikal elektrikal sebesar Rp75,7 miliar dan pekerjaan struktur sebesar Rp51 miliar.
Dalam laporannya seperti dilansir, BPK menyatakan bahwa Menpora diduga membiarkan Seskempora melaksanakan wewenang Menpora dan tidak melakukan pengendalian dan pengawasan atas tindakan Sesmenpora yang menandatangani surat permohonan persetujuan kontrak tahun jamak tanpa memperoleh pendelegasian dari Menpora. (CB/Bisnis/Marwan).