Sesepuh masyarakat adat Kajang. Foto : Istimewa. |
Kelestarian hutan di Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan tak lepas dari payung hukum adat yang selama ini dihormati dan dijunjung tinggi masyarakat adat Kajang yakni, PASANG. Bagaimana masyarakat adat kajang mengimplementasi ajaran Pasang kaitanya dengan pelestarian lingkungan hidup?
Secara harfiah kalau diartikan, Pasang berarti ”pesan” tapi kalau di kalangan masyarakat adat Kajang, Pasang mengandung makna yang lebih dari sekadar sebuah pesan. Eksistensi Pasang sifatnya menjadi sebuah keharusan dan kewajiban untuk dilaksanakan menjadikan posisinya sama halnya dengan nilai wahyu dan atau sunnah yang dikenal dalam ajaran agama-agama samawi.
Hal yang membuktikan bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap Pasang langsung mendapatkan sanksi yang berlaku selama masih hidup di dunia dan juga akan didapatkan di akhirat nantinya. Masyarakat Kajang dalam mengelola sumber daya hutan tidak terlepas dari kepercayaannya terhadap ajaran pasang. Masyarakat Kajang memahami bahwa dunia yang diciptakan oleh Turie’ A’ra’na beserta isinya haruslah dijaga keseimbangannya, terutama hutan. Karenanya hutan harus dipelihara dengan baik dan mendapat perlakuan khusus bagi penghuninya serta tidak boleh merusaknya.
Selain kepercayaanya, faktor yang berpengaruh untuk menjaga keseimbangan sumberdaya hutan adalah utuhnya pandangan mereka terhadap asal mula leluhurnya bahwa manusia berkembang dimulai dari Amma Toa pertama sebagai Tomanurung dan dunia meluas dimulai dari hutan Tombolo (Tana Toa), dimana manusia pertama itu (Amma Toa) “turun” di hutan Tombolo. Itulah keyakinan mereka terhadap leluhurnya yang hingga saat ini masih melekat dipikiran dan hati sanubari warga masyarakat Kajang.
Bagi orang Kajang diyakini bahwa merawat hutan adalah merupakan bagian dari ajaran pasang, karena hutan memiliki kekuatan gaib yang dapat mensejahterakan dan sekaligus mendatangkan bencana manakala tidak dijaga kelestariannya. Mereka yakin dan percaya bahwa di sekitarnya terhadap sesuatu kekuatan “supernatural” yang bagi manusia tidak mampu menghadapinya. Untuk itu mereka senantiasa mengadakan upacara-upacara di hutan agar terhindar dari mara bahaya yang dapat mengancam kehidupannya.
Penduduk Suku Kajang. Foto : bulukumbatourism.blogspot.com |
Dengan modal Pasang tersebut, masyarakat adat kajang menjadi bukti betapa kuatnya kearifan lokal masyarakat adat Kajang dalam pengelolaan hutan. ”Dengan Pasang inilah semua bentuk pemanfaatan dan pengelolaan hutan diatur dengan jelas termasuk menjadi alat pengawasan serta kontrol atas semua aktivitas yang berhubungan dengan kehutanan,”kata Abdul Syukur Ahmad aktivis Koalisi Ornop Untuk Hutan Sulawesi Selatan (KONSTAN).
Kondisi tersebut yang menjadikan Kajang memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri untuk menjadi pembelajaran bagi masyarakat-masyarakat adat lainnya di Sulawesi Selatan bahkan di Indonesia dalam membangun kehutanan yang adil dan lestari.
Indikator dari lestarinya hutan di Kajang tidak terlepas dengan kepatutan dan penghormatan atas hukum-hukum adat yang dituangkan dalam Pasang.
Arti Lingkungan Bagi Masyarakat Kajang
Persepsi masyarakat Kajang terhadap alam, bahwa di alam ini ada kekuatan-kekuatan dan kekuatan-kekuatan itu ada pada benda-benda, pohon besar dan lain-lain. Kekuatan-kekuatan alam itu ada pada gejala atau peristiwa alam yang digerakkan oleh dewa-dewa seperti kekuatan-kekuatan yang ada di hutan.
Dengan demikian bahwa persepsi masyarakat Kajang terhadap sumberdaya alam ini (termasuk hutan), menunjukkan adanya hubungan antara kepercayaan dengan keberadaan hutan dan prinsip hidup sederhana (tallasa kamase-masea).
Kawasan hutan adat Kajang kaya akan potensi berbagai keanekaragan hayati seperti jenis kayu dan hasil-hasil hutan bukan kayu lainnya seperti rotan, kayu bitti, lebah madu dan berbagai jenis tanaman lainnya. Selain itu kawasan hutan adat Kajang juga memiliki beberapa jenis hewan antara lain rusa, babi, kera, kus-kus serta beberapa jenis burung yang hingga kini masih tetap terjaga.
Fungsi “Patuntung” dalam Pengelolaan Hutan Adat Kajang
Selain ajaran Pasang, masyarakat yang kesehariannya serba berpakian hitam ini, juga memiliki aturan adat yang disebut Patuntung. Patuntung adalah sebuah aturan adat yang berhubungan dengan upaya-upaya untuk mempertahankan pengelolaan hutan yang lestari.
Hal tersebut tidak terlepas dari keyakinan masyarakat adat Kajang bahwa hutan adalah merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam melangsungkan kehidupan mereka. Terbukanya akses dengan masyarakat luar, Patuntung menjadi sangat penting dalam menjaga kelestarian ekosistem dan mempertahankan fungsi-fungsi hutan adat Kajang karena disamping pengaturannya yang terkait dengan pengelolaan hutan, Patuntung juga memiliki nilai ritual. “Oleh karena itu, perlakuan masyarakat adat Kajang terhadap hutan tidak semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tapi untuk kepentingan menjaga keseimbangan ekosistem dan kepentingan ritualnya,”jelas Ollong panggilan akrab Abdul Syukur.
Pengaruh kehidupan modern, bagi masyarakat adat Kajang juga memiliki pengetahuan bahwa kayu atau hutan adalah memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Namun mereka masih sangat menghormati dan menjunjung tinggi peranan hutan sebagai hal yang sangat sakral. Karena itu prilaku keseharian masyarakat adat Kajang masih diwarnai oleh tindakan yang mementingkan keseimbangan antara spritual dan ekonomi.
Diungkapkan, berdasarkan hasil diskusi antara penggiat hutan berbasis masyarakat se-Sulawesi Selatan yang di fasilitasi oleh KONSTAN di rumah Bapak AMMATOA Kajang beberapa waktu lalu diketahui pembagian fungsi hutan berdasarkan kepercayaan Patuntung yaitu hutan dipandang memiliki fungsi ritual sehingga bagi masyarakat Adat kayang hutan dipercaya sebagai sesuatu yang sakral.
Untuk fungsi ritual tersebut, beberapa upacara-upacara terpenting masyarakat adat Kajang dilakukan dalam kawasan hutan seperti upacara pelantikan AMMATOA, upacara Attunu Passau (upacara kutukan dari pelanggar adat), upacara pelepasan nazar dan beberapa upacara lainnya.
Selain itu, bagi masyarakat adat Kajang juga memfungsikan hutan sebagai pengatur tata air. Fungsi itu terutama untuk mengatur turunnya hujan. Penggiat hutan kemasyarakatan kadang menyebut konsep tersebut dengan nama Community Base Forest Management (CBFM).
Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk masyarakat adat Kajang telah lama mengembangkan konsep pengelolaan hutan yang dibagi berdasarkan zona-zona tertentu seperti Rabbang Seppang (batas sempit) adalah zona lindung. Zona tersebut tidak boleh diganggu bahkan masuk sembarangan dalam kawasan itu tidak diperbolehkan sama sekali.
Kemudian Rabbang Laura (batas luas) adalah zona wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari misalnya untuk wilayah perkampungan, pertanian, perkebunan, sebagai lokasi pengembalaan ternak.
Wilayah komunitas adat kajang bisa dicapai dengan menempuh perjalanan sekitar 3 jam perjalanan dari Kota Makassar. Semua pengunjung disyaratkan mengenakan pakian serba hitam serta diwajibkan mematuhi semua peraturan adat yang telah ditetapkan Ketua Adat, AMMATOA.
Masyakat Adat Kajang secara geografis terbagi atas Kajang Dalam dan Kajang Luar. Masyarakat Adat Kajang Dalam tersebar di beberapa desa antara lain Desa Tana Towa, Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung dan sebagian wilayah Desa Tambangan. Kawasan Masyarakat Adat Kajang Dalam secara keseluruhan berbatasan dengan sebelah Utara berbatasan dengan Tuli, Timur berbatasan dengan Limba, sebelah Selatan berbatasan dengan Seppa dan sebelah Barat berbatasan dengan Doro.
Sedangkan Kajang Luar tersebar di hampir seluruh Kecamatan Kajang dan beberapa desa di wilayah Kecamatan Bulukumba diantaranya Desa Jojolo, Desa Tibona, Desa Bonto Minasa dan Desa Batu Lohe. Perkembangan masyarakat adat Kajang hingga saat ini menutur data statistik pemerintah Kabupaten Bulukumba diperkirakan sekitar 44.866 jiwa atau 11,83% dari total penduduk Kabupaten Bulukumba.
Asal Usul Kajang
Berdasarkan sejarah asal-usul. Masyarakat Adat Kajang menetapkan bahwa sejak manusia ada masyarakat adat Kajang sudah ada di muka bumi Penegasan sejarah asal usul tersebut ditetapkan dalam Pasang bahwa Yang Maha Kuasa menciptakan bumi Dia bingung dan gelisah karena ada bumi tapi tidak ada penghuninya sehingga Ammatoa menghadirkan adat lima..
Adat lima tersebut terdiri atas masing-masing; Galla Pantama, Galla Puto, Galla Lombok, Galla Kajang dan Galla Malleleng. Kehadiran adat lima tersebut memberi arti penting bagi Ammatoa sendiri karena didukung oleh kontribusi pemikiran dan teman diskusi untuk bumi selanjutnya.
Lahirnya adat lima yang dibentuk oleh Ammatoa dengan peran dan tanggung jawab serta keahliannya masing-masing, membutuhkan struktur baru atau yang lebih populer dikenal dengan sebutan putra mahkota.
Dalam perjalanannya, kemudian lahirlah putra mahkota atau Moncong Bola yang berasal dari Labbiria atau Karaeng. Selanjutnya muncullah Sullehatan dan seterusnya struktur lembaga adat Kajang semakin lama semakin bertambah sesuai kebutuhan komunitas Masyarakat Adat Kajang sampai berjumlah 26 struktur yang memiliki berbagai fungsi dan wewenang masing-masing.
Dengan struktur dan pembagian kewenangan yang sangat jelas tersebut, membuktikan bahwa masyarakat adat Kajang sejak dahulu kala sudah mengenal sistem pemerintahan yang sangat kuat. Sejarah telah membuktikan bahwa sejak beberapa abad yang silam, masyarakat adat Kajang di bawah Kepemimpinan Ammatoa telah membangun hubungan-hubungan dengan masyarakat luar diantaranya dengan kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan seperti Gowa, Luwu dan Bone.
Pengalaman dalam membangun kerjasama tersebut, sekarang ini secara langsung bisa di lihat dengan aksebilitas masyarakat adat Kajang dengan pihak luar semakin mudah dan bisa kita saksikan sebagian pemuda-pemudi Kajang keluar untuk urusan studi dan berbagai aktivis lainya.
Sekedar diketahui bahwa kawasan Hutan Tana Towa Kajang, berdasarkan Kepmenhut Nomor: 504/Kpts-II/1997 terdiri atas 331,17 ha. Kawasan hutan di Tana Towa Kajang ditetapkan sebagai Hutan Produksi Terbatas, hal tersebut bisa dibaca dalam buku Tata Guna Hutan Kesepakatan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 1999.
Dengan status kawasan yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut secara otomatis akan berbenturan dengan pengurusan kawasan hutan yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Kajang dan sudah berlangsung secara turun-temurun bahkan sebelum negara kesatuan Republik Indonesia terbentuk, dimana sudah ada kearifan-kearifan lokal masyarakat adat Kajang. (Marwan Azis).